Preman ikut menata Tanah Abang? Siapa sebenarnya mereka? - Berita terkini

Recent Posts

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Tuesday, November 14, 2017

Preman ikut menata Tanah Abang? Siapa sebenarnya mereka?


BBC

Kawasan Tanah Abang kembali menjadi bahan pembicaraan lantaran kemacetan dan kesemerawutan yang kembali menyeruak di kawasan ini, dan memunculkan perdebatan tentang 'preman' yang berkuasa di sana.

"Sebetulnya begini, masalah preman itu orang hanya membesar-besarkan bahasa aja. Sebetulnya, masih banyak preman yang berdasi," ujar Muhammad, salah satu 'penguasa jalanan' yang BBC Indonesia temui kawasan Bongkaran, Tanah Abang, Jumat pekan lalu.

Pria asal Palembang ini menjadi saksi kerasnya kehidupan jalanan di Tanah Abang, termasuk perebutan kekuasaan paling brutal antara 'penguasa jalanan' pada saat itu, Hercules, dengan Muhammad Yusuf Muhi alias Ucu Kambing pada medio akhir 1990an. Bentrokan antara kedua kelompok itu begitu keras, dan akhirnya Ucu Kambing menjadi penguasa baru.

Sambil menghisap rokok, Muhammad, pria paruh baya yang masih terlihat segar dan bersuara lantang mengakui memang ada sekelompok orang yang boleh dibilang preman. "Dia hanya sebatas perut," katanya.

"Dalam artian memang tidak ada pekerjaan tetap, sehingga orang itu melakukan hal-hal yang boleh dibilang ingin memiliki barang tersebut dengan cara melawan hukum," imbuhnya.

Ketika ditanya apakah dia termasuk salah satunya, ia hanya berujar: "Bisa juga. Bisa iya, bisa juga tidak. Sebab itulah saya bilang tadi, terkadang orang karena memikirkan perut tadi bisa lupa siapa dia sebenarnya."

"Orang aja bisa khilaf, kita juga bisa lupa diri. Hal yang wajar memang. Makanya saya bilang tadi, hanya sebatas perut. Kalau seseorang itu perutnya kenyang, ya nggak mungkin dia,"

BBC Indonesia bertanya tentang pekerjaan sehari-hari pria ini sebenarnya. "Kesehariannya duduk-duduk begini, ngobrol, ngopi, ya kadang-kadang jaga lampu, jaga lilin," jawabnya enteng.

Bagaimana dengan sebagian tudingan bahwa para preman acap memungut 'setroan' dari para pedagang kaki lima di Tanah Abang?

"Wajar lah, orang butuh hidup," kata Muhmmad.

"Kembali ke pekerjaan tadi: masih berputar di (penghasilan) situ juga. Tapi bagaimana, ya. Kalau penilaian saya, ibarat situ makan cabe pada saat merasa pedasnya mungkin situ berhenti, tapi ketika hilang pedasnya, mengulang lagi."

Perihal 'uang setoran' ini, Andi, seorang pedagang berkisah. Ia, sudah enam tahun berjualan asongan di trotoar Tanah Abang mengaku sering dikutip uang keamanan, baik harian, mingguan dan bulanan.

"Bulanan ada yang gocap (Rp 50.000), ada yang cepek (Rp 100.000), tergantung lihatiniannya aja . Kalau harian kadang ada yang goceng (Rp 5.000), ada yang Rp 2.000. Tapi yang jelas mingguan, jelas tuh goceng (Rp. 5.000).

Senada, Nasir, pedagang baju muslim yang sudah berjualan di Tanah Abang sejak tahun 1991 menuturkan: "Semenjak saya jualan di sini, yang preman itu di jalanan. Kan dulu di jalanan ini kan penuh dengan kaki lima. Ini yang heboh-heboh Pak Haji Lulung, nah itu dia yang nguasain . "

"Tapi buat mereka yang jualan di dalam blok tidak ada masalah, kata dia. "Kita cuma tiap bulan rutin bayar service charge (biaya perawatan), terus nggak ada hubungan sama preman," kata dia.

Menurut dia, sudah beberapa tahun ini preman-preman ini mengelola wilayah di sekitar Bongkaran yang berdekatan dengan Stasiun Tanah Abang.

"Di situ kalau hari-hari biasa itu untuk truk-truk yang parkir di situ, kalau hari Senin, Kamis, itu orang-orang itu. Jadi dia kelola itu satu area parkir yang luas itu terus disewakan ke orang Tasik, ke orang Tanah Abang juga. Nah itu preman yang mengelola," cetusnya.

Pemukiman penduduk yang dijadikan kios-kios di seberang Stasiun Tanah Abang, menurut Nasir, merupakan 'lahan basah' bagi para preman. Pedagang yang berjualan di situ mematok harga lebih murah. Imbasnya, banyak orang yang lebih memilih untuk belanja ke sana.

"Dulu pernah juga komplain ke Pemda (pemerintah daerah), kenapa kok dibiarin preman ini berkuasa. Ya, namanya duit yang berkuasa, sampai sekarang tetap aja jalan terus," kata dia.
Kongkalikong dengan aparat

Perdebatan soal preman kembali menyeruak setelah muncul ucapan dari Wakil Gubernur Jakarta, yang mewacanakan pelibatan preman dalam penataan kawasan seperti tanah Abang.

Polemik tentang preman Tanah Abang makin memanas juga ketika lembaga negara yang berwenang melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, Ombudsman, melakukan investigasi terkait penataan dan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di enam tempat di Jakarta, salah satunya Tanah Abang.

Hasilnya, mereka menemukan adanya maladministrasi dan adanya kerja sama preman dengan oknum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

"Ada semacam pengakuan dari PKL yang kami wawancara di beberapa tempat tentang kehadiran preman dan juga ormas sebagai pihak ketiga," ujar Anggota Ombudsman Adrianus Meliala.

"Jadi dulu rupanya kalau Satpol PP terima uang, langsung dari PKL kepada mereka. Sekarang karena takut ketahuan dan takut dipermalukan atau apa, maka dipergunakan jasa pihak ketiga ini untuk menerima uang dari PKL tersebut," imbuh Adrianus.

Namun, temuan Ombudsman ini ditampik oleh Haji Lulung yang bersikeras bahwa tidak ada preman di Tanah Abang. Ia mengatakan, yang ada adalah 'anak lingkungan,' yang bertugas menjaga ketertiban pedagang di kawasan itu.

"Pedagang punya kewajiban tertib enggak? Punya dong. Harus ada kepalanya enggak? Harus dong, kepala kelompok pedagang namanya. Punya kewajiban bersih enggak? Punya dong. Siapa petugasnya? Pedagang? enggak bakal," kata Lulung seperti dikutip dari kompas.com.

Dan itulah peran 'anak lingkungan, katanya.

Menurut dia, anak lingkungan berbeda dengan preman yang dicitrakan sebagai orang-orang yang biasa memeras.

"Kalau preman (berulah), aku yakin anak lingkungan marah. Pasti anak lingkungan dulu yang laporin (ulah preman itu) ke polisi, pasti," ujar Lulung.

Menanggapi komentar Haji Lulung, Adrianus Meliala tidak menepis kemungkinan bahwa ada perbedaan konsep tentang preman antara Ombudsman dan apa yang dipahami oleh Haji Lulung .

"Kelihatannya yang dipahami oleh Pak Lulung itu preman adalah big buddy , ataugodfather , yang mungkin juga ada. Tapi kita tidak melihatnya ke situ, paling tidak pada konteks kami, karena berkali-kali preman diucapkan oleh berbagai pihak: oleh pihak PKL, demikian juga oleh Satpol PP-nya sendiri. Maka di situlah kami kemudian mengambil kesimpulan bahwa preman itu ada, namun tidak menunjuk pada siapa pun orangngya," jelas Adrianus.

Ketika dikonfrontasi tentang temuan tersebut, Wakil Kepala Satpol PP DKI Hidayatullah meminta Ombudsman untuk memberikan bukti-bukti oknum Satpol PP yang bermain dan menjamin oknum tersebut akan langsung dipecat.

"Dengan adanya temuan dari Ombudsman ini kita lakukan pembinaan-pembinaan para Satpol PP untuk tidak lagi melanggar. Kita langsung pecat kalau ada yang melanggar seperti pungli," tegasnya.

Hidayat pun enggan menyebut orang-orang ini sebagai preman, melainkan, seperti istilah Haji Lulung, 'anak wilayah'.

"Mereka kadang-kadang bantu-bantu pedagang, mengamankan pedagang kadang-kadang. Ya, anak-anak wilayah lah saya bilang."

Menurut pria yang pernah menjabat sebagai camat Tanah Abang selama enam tahun hingga awal 2017, setelah penertiban yang diawali saat Presiden Joko Widodo masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012, jumlah 'anak wilayah' ini kini semakin berkurang. Kebanyakan dari mereka beralih pekerjaan menjadi supir ojek atau pedagang.

"Dulu, bangun tidur aja mereka dengan enaknya tinggal kucek-kucek mata minta (uang) pada pedagang. Dulu, bayangkan aja hampir semua anak-anak wilayah berkoordinasi dengan pedagang kaki lima liar," ujarnya seraya menambahkan bahwa fenomena ini hal yang wajar dalam kehidupan pasar.

"Di mana ada gula, pasti ada semut," imbuh Hidayat.

Selama enam tahun pergumulan menata wilayah Tanah Abang, Hidayat membeberkan bahwa kerap terjadi gesekan dengan para 'anak wilayah' ini tiap kali terjun ke lapangan.

"Saya sering kali dikeroyok, mau dibacok, baik itu sama perkumpulan tukang kambing. Tapi tegas kita lakukan, nggak sekali, tiap hari harus kita lakukan pelan-pelan," tuturnya.

Yang lebih tak mengenakkan lagi, kata dia, dirinya seringkali difitnah oleh mereka.

"Kita lagi jalan, lagi nertibin upamanya, datang anak-anak wilayah, 'Pak Camat, bagaimana ini gini-gini' tapi nanti di pedagang [mereka bilang] 'Nanti kamu akan dibongkar, mana sini patungan bakal saya kasih ke Camat ke Lurah. Nah itu yang kadang-kadang dimanfaatkan."

Penguasa resmi dan tak resmi

Sejarawan JJ Rizal menjelaskan keberadaan preman bermula sejak zaman kolonial Belanda. Dirunut dari asal katanya, preman berasal dari bahasa belanda 'vrijman' yang artinya orang bebas.

Vrijman , menurut Rizal, adalah orang-orang partikelir yang tidak bekerja pada pemerintah dan cenderung dicap sebagai orang yang punya antipati terhadap kekuasaan.

"Mereka dicap sebagai kekuatan others, yang lain. Kata vrijman lebih disandingkan dengan kontestasi dan kontestasi itu dengan kekuatan. Jadi kata itu sebenarnya kata yang diciptakan oleh dunia kolonial dan kemudian dipakai lagi oleh dunia orde baru."Bay Ismoyo/AFP/Getty ImagesTanah Abang menjadi 'lahan basah' berbagai kepentingan karena menjadi salah satu pusat perputaran uang di ibu kota

Lebih jauh, seiring perkembangan zaman dunia preman identik dengan dunia kekerasan. Pasalnya, preman bertalian erat dengan kekuasaan.

"Apalagi setelah peristiwa 98 ketika tentara, militer mendapat kritik mereka tidak lagi bisa lagi secara langsung, harus menggunakan orang lain untuk melaksanakan niat-niat mereka. Dan titik itu banyak organisasi-organisasi militer tercipta, mulai dari FPI (Front Pembela Islam), kemudian FORKABI (Forum Komunikasi Anak Betawi), Pam Swakarsa (Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa), itu semuanya kekuasaan itu memobilisasi preman," kata dia.

Jerome Tadie, seorang penulis Prancis yang melakukan penelitian dan survei tentang kekerasan di Jakarta selama kurun 1997-2000 menyingkap peta kekerasan dan premanisme di Jakarta, Dalam bukunya, 'Wilayah Kekerasan di Jakarta', Tadie memaparkan peta penguasaan wilayah oleh kelompok-kelompok preman.

Pola pemanfaatan tenaga preman, berdasarkan pengamatan Tadie pemanfaatan kelompok preman di masa orde baru, yang digalang untuk kepentingan politik rezim yang berkuasa, terus berlangsung hingga kini.

"Mereka dimanfaatkan untuk pengendalian wilayah, serta kepentingan ekonomis, seperti menggusur lahan dan membubarkan aksi pemogokan. Mereka juga digunakan untuk menyelesaikan berbagai perselisihan di lingkungan kampung," tulis Tadie.

Menyangkut peta premanisme, dia membaginya berdasarkan faktor etnik atau kesukuan, di mana terdapat sekitar lima belas etnik yang mengendalikan berbagai wilayah di Jakarta. Antara lain, Batak, Palembang, Padang, Banten, Demak, Jepara, Surabaya, Madura, Makasar, Ambon, dan Papua.

Mereka, tulis Tadie, memiliki spesialisasi dalam melakukan tindak kriminalitas. Ada spesialis pencuri atau pencopet, menodong dan menjambret, menipu, dan tukang pukul.

"Dalam penguasaan wilayah, juga terdapat kekhasan tersendiri. Ada yang menguasai terminal, pasar, tempat hiburan, dan pelabuhan. Dari berbagai wilayah yang dikuasai preman, ada lima sektor pengendalian utama, yakni Pelabuhan Tanjung Priok, Kota, pecinan, Tanah Abang, dan Senen."

Peneliti Asian Research Centre dari Universitas Murdoch, Australia, Ian Douglas Wilson dalam bukunya The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia: Coercive Capital, Authority and Street Politics, menelaah transformasi pola patronase kekuasaan di Tanah Abang selama periode 1997 - 2002.

Wilson menyebut, pemuda-pemuda asal Timor Lorosae yang diorganisir Hercules menjadi penguasa jalanan pada 1990an. Namun, krisis ekonomi pada tahun 1997 memicu ketidaknyamanan dan kebencian terhadap pemerasan oleh "orang luar" ini.

Sebuah organisasi yang dibentuk oleh penduduk asil Betawi di distrik ini, Ikatan Keluarga BesarTanah Abang yang dikepalai oleh Ucu Kambing, mendapat restu dari pemerintah kota pada saat itu yang dipimpin Sutiyoso. Dalam gerakan anti-premannya Gubernur Sutiyoso kerap menggunakan 'pribumi versus lainnya'.

"Kasus Tanah Abang melambangkan transformasi dari aliansi antara administrasi formal dan organisasi preman. Sementara politik lokal menjadi arena kontestasi dari berbagai macam kepentingan politik, maka tidak perlu lagi kepemimpinan organisasi preman mendapatkan dukungan kuat dari otoritas formal agar dapat bertahan dan sejahtera," tulis Wilson dalam bukunya,

Adrianus yang juga kriminolog menambahkan preman merupakan salah satu fenomena yang tidak bisa lepas dari kehidupan metropolitan, khususnya Jakarta. Kebanyakan orang-orang ini adalah kelompok orang yang tidak bisa masuk pada sektor formal lantaran tidak memiliki pendidikan, dan di sisi lain, malas bekerja di sektor informal.

Mereka kemudian mengandalkan kemampuan fisik untuk mendapatkan uang. Apalagi, dengan adanya pertemanan yang umumnya berbasis pada primordial, maka kemudian mereka masuk ke sektor-sektor yang bersifat pemerasan maupun semi-pemerasan.

"Mereka seperti menciptakan keamanan dan kemudian mereka sendiri lah yang menjadi penganggu," jelas Adrianus.

Mereka kemudian masuk ke bidang lain seperti, misalnya sebagai penjaga parkir. Sementara preman yang berpendidikan dan memiliki jaringan luas, kemudian merambah ke bidang bisnis yang bersih.

"Menjadi pengusaha lalu kemudian masuk ke bidang bisnis yang dalam hal ini susah dikatakan bahwa ini adalah dilakukan oleh seorang preman," kata dia.

Lebih jauh, Adrianus mengungkapkan dalam konteks Tanah Abang, premanisme sudah mendarah daging di semua sendi kehidupan pasar. Premanisme, menurutnya, keyakinan bahwa menggunakan cara-cara yang bersifat semi illegal dianggap sebagai hal yang benar dan sah.

"Dalam arti bahwa di sana seakan-akan berlaku hukum yang lain ya. Contoh misalnya ketika pedagang-pedagang di blok tidak merasa bahwa di blok nya didatangi pembeli, lalu mereka merasa enak saja, enteng saja untuk kemudian keluar dan mulai berjualan di pinggir jalan. Itu kan sebetulnya cikal bakal dari prilaku premanisme. Artinya, menghalalkan cara untuk satu tujuan," jelasnya.

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad