Sri Mulyani Warning PT Freeport - Berita terkini

Recent Posts

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Wednesday, February 22, 2017

Sri Mulyani Warning PT Freeport



TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan Freeport McMoran Inc, induk usaha PT Freeport Indonesia (PTFI).

Ia menilai, ada potensi dampak buruk bila perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu terus-menerus menunjukkan sikap negatif.

"Jadi yang baik adalah menjaga kepentingan bersama, kegiatan ekonomi penting bagi Indonesia bagi Papua, dan juga Freeport sebagai perusahaan publik. Kalau dia berhenti (operasi), dia akan jatuh sahamnya," ujar Sri Mulyani di Kantor Koordinator Perekonomian, Jakarta, Rabu (22/2/2017).

Seperti diketahui, pemerintah mempersilakan PT Freeport Indonesia mengubah statusnya dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) agar bisa kembali mengekspor konsentrat.

Selain itu, pemerintah sudah menawarkan proses transisi selama enam bulan kepada Freeport untuk melihat fakta-fakta yang ada dalam KK dan apa yang ada di UU Minerba. Namun, Freeport menolaknya.

CEO Freeport McMoran Inc, Richard Adkerson, secara tegas mengatakan pemerintah dianggap berlaku sepihak. Atas hal itu, ia mengancam akan membawa persoalan tersebut ke arbitrase internasional.

Pada akhir perdagangan di bursa AS, Selasa atau Rabu (22/2/2017) dini hari, harga saham Freeport McMoran Inc ditutup turun cukup dalam.

Saham induk perusahaan PT Freeport Indonesia tersebut berakhir melemah sebesar 5,23 persen di posisi 14,13 dollar AS per saham.

Melemahnya saham Freeport terkait erat dengan masih buntunya negosiasi antara perusahaan tersebut dan Pemerintah Indonesia terkait dengan perpanjangan operasi.

Sebelumnya, sejak 11 Januari 2017, masa perpanjangan ekspor konsentrat perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu habis pasca-terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

Dalam aturannya, industri pertambangan tidak boleh mengekspor mineral mentah lagi, harus dalam bentuk yang sudah dimurnikan.

Oleh sebab itu, ada kewajiban bagi perusahaan pertambangan untuk membangun smelter. Namun hingga 11 Januari 2017, Freeport tidak juga merealisasikan pembangunan proyek smelternya.

Pemerintah mencoba mencari solusi dengan mengeluarkan PP Nomor 1 tahun 2017 dengan mempertimbangkan ketentuan UU Minerba.

Melalui aturan itu, pemegang KK tetap boleh mengekspor konsentrat asal mengubah statusnya menjadi IUPK.

Selain itu, pemerintah juga memberikan dua syarat lagi yang harus dipenuhi Freeport. Syarat itu adalah bersedia membangun smelter dalam waktu lima tahun dan bersedia divestasi 51 persen sahamnya.

Namun, Freeport justru mengajukan syarat balik, meminta pemerintah memberikan kepastian usaha jangka panjang dan penetapan tarif pajak secara tetap layaknya yang tertuang di KK.

Sri Mulyani juga mengaku telah berkonsolidasi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan terkait persoalan PT Freeport Indonesia.

Konsolidasi itu bagian dari persiapan pemerintah menindaklanjuti dinamika masalah dengan perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.

"Termasuk (bersama-sama) melihat penerimaan negara melalui KK (Kontrak Karya) yang diatur sebelumnya dan bagaimana itu diubah dalam bentuk sesuai izin dalam Undang-Undang Minerba," ujarnya.

Sri Mulyani mengatakan, pemerintah tetap akan berpegang pada Undang-Undang Minerba. Ia juga menegaskan, semua investor yang berinvestasi di Indonesia harus mematuhi aturan dan undang-undang yang ada.

"Kami juga lakukan amanat undang-undang secara penuh sehingga bisa dipahami masyarakat dan menjadi pegangan kami sebagai pemerintah dan menjadi pegangan bagi investor yang akan investasi," katanya.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Wilayah Indonesia Timur berharap pemerintah mengelola isu PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan baik.

Jangan sampai memanasnya hubungan Freeport Indonesia dengan pemerintah menjadi kontra produktif dan tidak terukur.

"Isu Freeport ini harus dikelola dengan baik, terukur dengan target yang jelas," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Kawasan Timur Indonesia, Andi Rukman Karumpa.

Andi mengatakan, gejolak antara negara dan korporasi besar seperti Freeport lumrah terjadi dimana-mana. Misalnya dulu ada Aramco yang juga bermasalah dengan pemerintah kerajaan Arab Saudi. Kemudian, Aramco jatuh ke pangkuan pemerintah kerajaan Arab Saudi.

"Sengketa kontrak dengan multi nasional company ini hal biasa. Tapi harus ada target yang terukur. Gejolak itu dimanage sehingga bisa lebih produktif dalam jangka panjang atau jangka pendek," tutur Andi.

Pihaknya dalam hal ini mendukung ketegasan pemerintah kepada Freeport. Sebab selama ini, Freeport mengulur-ulur waktu membangun smelter di dalam negeri. Freeport juga terkesan berusaha selalu mendikte pemerintah.

Andi mengingatkan, agar isu kisruhnya Freeport dengan pemerintah Indonesia dikelola dengan baik. Pasalnya, puluhan ribu pekerja tambang sudah dirumahkan. Tak hanya itu, jika ini terus berlangsung perekonomian di Papua akan ikut terguncang.

Sebab, lebih dari 90 persen produk domestik bruto regional (PDRB) Kabupaten Mimika, sekitar 37 persen PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Provinsi Papua berasal dari Freeport.

"Saya kira dampak-dampak ekonominya dan politik lokal juga harus dipertimbangkan. Makanya kita harap dikelola dengan baik," imbuhnya. (sen/kps)



Sumber

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad