Mas Agus apa kabar? Dapat salam dari warga Cipinang Muara Mas. Nanti kalau main atau kampanye lagi kesana agak lamaan yah. Jangan cuma dadah dadah doang. Warga juga perlu diyakinkan dengan semacam orasi gitu. Bagus-bagus ada dialog seputar visi misinya Mas Agus. Sebab, biar Mas Agus baik, santun juga tampan, rakyat Jakarta cukup “pragmatis”. Terbukti, saat Mas Agus blusukan ke Cipinang Muara, banyak warga yang kecewa karena cuma didadahin.

Saat kampanye atau blusukan, Mas Agus sebenarnya harus bisa berlama-lama bersama warga. Ini untuk menepis sangkaan masyarakat bahwa Mas Agus takut debat dengan Cagub yang lain. Takut karena tidak mempunyai program unggulan, juga takut karena dianggap paling tidak berpengalaman. Sangkaan itu sudah berkembang loh Mas, meski kompas baru-baru ini mempublikasikan surveinya bahwa Mas Agus yang paling unggul.

Persoalan di Jakarta itu banyak Mas. Mulai dari macet, banjir, pendidikan, hingga masalah kemiskinan. Orang Jakarta perlu tahu, apa yang Mas Agus tawarkan kepada mereka. Jangan sampai, apa yang Mas sampaikan, sudah dilakukan sebelumnya oleh Petahana. Kalau cuma melanjutkan, buat apa ada Pilkada Mas?

Dan saya lihat. Mas Agus sepertinya masih bingung dalam merumuskan terobosan-terobosan realistis untuk bisa menyaingi Sang Petahana. Soalnya, kebanyakan terobosan yang Mas Agus tawarkan ini sangat tidak realistis. Malah terkesan seperti fantasi. Terutama soal banjir.

Berkaitan dengan banjir. Saya suka baper Mas. Saya sampai menulis di luar kemampuan saya menulis. Karena saking panjangnya. Maklum Mas, kalau sedang baper, ide itu mengalir deras. Coba aja tanya Pak Beye kalau lagi baper, pidatonya suka panjang. Hehe.. becanda Mas.

Kalau Mas tidak percaya saya suka baper kalau bahas banjir di Jakarta, silahkan baca tulisan saya yang satu ini. Banyak yang tersentuh loh Mas. https://seword.com/urusan-hati/pak-ahok-jakarta-masih-membutuhkanmu/

Saya melihat video Mas Agus saat mendatangi markas Kompas TV. Meski cuma cuplikan, saya jadi paham solusi Mas Agus mengatasi banjir Jakarta. Itu sangat fantas(t)is. Saya yang biasa baperan kalau simak masalah banjir, menyimak solusi yang Mas Agus beri jadi sangat terhibur. Makasih Mas.







Berikut ini transkrip apa adanya yang bisa saya buat. Semoga tidak mendatangkan aksi bela banjir karena kurang kata “pakai”. Dan, saya juga tak mau, nantinya saya malah dinobatkan jadi pahlawan medsos banjir. Tidak mau Mas. Jadi, ini apa adanya.

“Kalau tidak harus menggusur tapi banjir tetap bisa diselesaikan menurut saya itu lebih baik. Banyak kota di dunia, sekarang kita ilustrasi yah, itu di atas dia, mengapung dia. Artinya..,” Mas Agus garuk-garuk kepala. Mungkin sedang memikirkan mengapung itu seperti apa?


Kota di dunia yang mengapung di atas air? Dimana itu yah? Kalau pasar mengapung di Indonesia juga ada. Itu, dulu, sering muncul di RCTI. Tepatnya di Sungai Martapura, Banjar masin. Itu pasar Mas. Ini pemukiman loh. Buat pemukiman mengapung itu bagaimana? Kalau banjir nanti juga bagaimana? Apakah pemukimannya nanti akan ikut bermigrasi ke Pulau Seribu?

Garuk-garuknya Mas Agus saat bilang akan buat kota mengapung itu adalah kode bahwa fantasi Mas Agus sungguh ajaib. Mungkin, hanya karomah Habib Rizieq yang mampu mewujudkannya, sebagaimana beliau mampu mendatangkan 7 juta orang kumpul di monas. subhanallah.

“..tanpa harus digeser jauh-jauh, begitu yah. Dia bisa dibangun lokasinya..,” tadinya mungkin mau bilang “ditinggikan” dari bahasa tangannya, tapi diganti jadi “dibangun”. Mungkin, kalau dipakai “ditinggikan” akan sangat sulit untuk digambarkan, “..kemudian mencegah banjir juga.”

Saya menganalisis bahasa tubuh Mas Agus, sepertinya ingin menawarkan “rumah panggung”. Karena cuma rumah panggung yang tepat dengan gestur tangan dinaikan ke atas. Kalau rusun mustahil, apalagi rumah deret. Rumah panggung yang paling pas. Seperti masyarakat nelayan pesisir yah Mas? Kalau itu berarti tidak mengapung Mas. Sebab, tiang panggungnya tertanam di dasar sungai.

“Kemudian..,” Mas Agus menoleh ke sebelah kiri, mungkin mau pakai bantuan “phone a friend” dengan orang di sampingnya, hehe “..tentu saya akan terus mempelajari ini semua. Yang saya ketahui sekarang karena banyaknya sedotan air.. tanah begitu.. itu menyebabkan menurunnya permukaan tanah. Bahkan beberapa daerah sampai 20 cm pertahun. Jadi, naiknya permukaan air tidak sebanding dengan penurunan tanah. Jadi itu juga yang membuat semakin.. semakin memperburuk situasi.”

Jujur. Kalimat di atas agak membingungkan untuk orang yang realistis seperti saya ini. Saya sulit untuk berfantasi. Mulai dari “sedotan air”. Tapi, sepertinya, maksud Mas Agus ini “sedotan tanah”, yang menyebabkan menurunnya permukaan tanah. Permukaan tanah yang turun ternyata tidak cukup menampung jumlah air.

Kalau memang sedot tanah, atau sedot air, atau apalah maksud Mas Agus ini, tidak bisa jadi solusi banjir, malah dikatakan dapat memperburuk, satu-satunya jalan ya normalisasi daerah sekitar aliran sungai. Petahana sudah lakukan ini Mas. Bukan menggusur yah, tapi merelokasi. Kalau menggusur ndak dikasih tempat baru. Beda loh mas.

Melihat ini. Saya jadi berkesimpulan bahwa wajar Mas Agus takut ikut debat publik.
Sumber