Setelah Selesai Kepentingannya Kepada MUI & FPI, Kini Agus Harimurti Sudah Berani Mengolok-olok MUI & FPI - Berita terkini

Recent Posts

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Saturday, December 24, 2016

Setelah Selesai Kepentingannya Kepada MUI & FPI, Kini Agus Harimurti Sudah Berani Mengolok-olok MUI & FPI


Agus Menista Fatwa MUI, Menantang FPI

Beberapa hari yang lalu, tepatnya 14 Desember 2016, MUI mengeluarkan fatwa no. 56 tahun 2016, tentang keharaman memakai atribut keagamaan non-muslim bagi umat muslim, termasuk pakai salib dan topi sinterklas. Atribut keagamaan, oleh MUI didefinisikan sebagai sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu. Artinya, termasuk dalam definisi itu, selain topi sinterklas, juga pakaian siterklasnya.

MUI sebagai lembaga tempat berkumpulnya para ulama yang mempunyai otoritas dan legitimasi untuk mengeluarkan fatwa, seharusnya selalu menjadi rujukan dalam hal mengetahui hukum suatu perbuatan dalam Islam. Apa yang terjadi selama beberapa bulan terakhir, terkait fatwa penistaan agama yang dilakukan Ahok, sehingga melahirkan berbagai aksi yang berjilid-jilid, merupakan representasi dari kepercayaan masyarakat luas terhadap fatwa MUI, karena MUI menjadi rujukan dan dalam posisi “lebih tahu” dibandingkan masyarakat awam.

Meski beberapa pihak ada yang “nyinyir” terhadap fatwa MUI, terutama ketika kondisi umat muslim sekarang sedang sensitif pasca aksi yang berjilid-jilid, tapi kita semua harus menyadari, bahwa justru itu untuk memperkuat toleransi dan menjaga kerukunan antarumat beragama melalui sikap penghormatan terhadap perbedaan keyakinan beragama di Indonesia. Tugas MUI adalah untuk membimbing umat. Toleransi tidak bisa dimaknai dengan meniru-niru atau melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan, tapi menjaga konsistensi sikap keberagamaan dengan cara yang benar.

Terlepas dari suasana politis yang melingkupinya, fatwa penistaan agama yang ditujukan untuk Ahok adalah bagian dari kegelisahan kaum muslim dan kemurniaan hati untuk membela agama dan al-Quran yang mereka yakini, termasuk untuk membela para penyampai agama dan al-Quran. Sehingga, kalau umat muslim percaya bahwa fatwa MUI adalah bagian dari penegakan firman Allah dan Rosul-Nya, sebagai konsekuensinya – toh, kalau pun nanti tidak terbukti secara konstitusional– sebenarnya orang yang melanggar fatwa MUI itu “cacat” secara agama, moral, dan sosial-masyarakat.

Padahal Ahok bukan seorang muslim, apalagi jika yang melakukan penistaan itu adalah umat muslim itu sendiri.

Sesuatu yang agak aneh dan menjadi viral di dunia mayantara adalah ketika Annisa Yudhoyono, istri salah satu calon gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono, justru memamerkan beberapa foto ketika ia dan anaknya, Aira, menggunakan kostum sinterklas. Si Aira, menari-nari cantik dengan kostum natal di pertujukan sekolahnya. Jelas ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap fatwa MUI. Annisa mungkin ingin menunjukkan toleransi dan kebersamaan, tapi ketika fatwa MUI secara jelas mengharamkannya, itu berarti adalah melawan dan menentang fatwa MUI.

Bukan hanya itu, apa yang dilakukan oleh Annisa itu merupakan sebuah tamparan keras bagi FPI yang gencar-gencarnya melakukan sweeping terhadap ornamen natal di berbagai daerah dengan alasan menegakkan fatwa MUI. Apa yang dilakukan oleh istri Agus itu, sekali lagi, tentu mencederai umat islam karena seakan-akan, dengan begitu senangnya, menolak fatwa MUI dan sepertinya juga menentang FPI.

Sayangnya, ini keanehan selanjutnya, tak ada respon terhadap keluarga tersebut, sebagaimana respon untuk para “pelanggar” lainnya. Padahal Annisa itu publik figur. Selain sebagai artis, ia juga menantu SBY, dan istri calon gubernur DKI Jakarta yang saat ini sedang gencar melakukan kampanye.

Ketika kita percaya, bahwa fatwa MUI itu benar dan harus dibela, maka sebagaimana peristiwa pada kasus Ahok, kita harus memisahkan hal ini dengan wilayah politik. Fatwa MUI tidak ada kepentingan untuk Pilkada DKI Jakarta, karena fatwa tersebut untuk kemaslahatan dan memberikan bimbingan pada umat.

Menanggapi hal itu, Agus (merdeka.com) memberikan komentar, bahwa “seharusnya masyarakat harus saling menghargai antar umat beragama. Menurutnya, kita kembalikan kepada masyarakat. Ini adalah negara demokrasi. Yang penting kita taat pada aturan hukum saja”. Ada yang aneh dengan pernyataan ini. Terutama tentang mengembalikan kepada masyarakat dan taat pada aturan hukum saja. Apa yang akan dikembalikan pada masyarakat? Jadi apa gunanya MUI mengeluarkan fatwa? Kalau hukum agama yang difatwakan oleh lembaga keagamaan seperti MUI tidak perlu dipatuhi? Kita jadi berpikir, apakah Agus ini mengerti dengan makna negara demokrasi?.

Tapi akhirnya, meski pun hal ini tidak seramai peristiwa keagamaan sebelumnya, tapi masyarakat (khususnya muslim) Jakarta mendapatkan ilham dan petunjuk langsung dari Tuhan, siapa sebenarnya pemimpin muslim yang patut dan pantas dipilih. Siapa pemimpin muslim yang otentik dalam kesehariannya menjalankan perintah agama, seperti berjilbab untuk para istrinya, dan siapa yang hanya polesan semata. Siapa yang dekat dengan ulama dan habib, tapi pada saat bersamaan membiarkan keluarganya menggunakan atribut natal atas nama toleransi. Atau mungkin karena kedekatan itu, ia tetap “aman” meskipun menolak fatwa MUI dan menantang FPI?⁠⁠⁠⁠





No comments:

Post a Comment

Post Top Ad