Pesan Ini Menampar FPI Dari Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama Tentang Atribut Natal - Berita terkini

Recent Posts

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Thursday, December 22, 2016

Pesan Ini Menampar FPI Dari Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama Tentang Atribut Natal




Bangsa ini seringkali meributkan sesuatu yang sebenarnya sepele dan bisa diselesaikan dengan mudah. Masalah sepele seperti ini ibarat api kecil yang seharusnya disiram dengan air maka urusan beres. Tapi beberapa orang lebih memilih menyiram dengan bensin. Jadinya ya api makin besar. Itu namanya cari penyakit, cari gara-gara, cari masalah atau kurang kerjaan.

Pembaca Seword pasti sudah baca berita mengenai rombongan massa FPI yang masuk ke mal-mal di Surabaya, yang katanya dalam rangka sosialisasi fatwa MUI. Belum lagi 5 orang dari ormas di Solo yang melakukan sweeping di Solo dan insiden Sabuga Bandung. Contoh-contoh buruk seperti ini menunjukkan bahwa tindakan ormas-ormas model begini makin menjadi-jadi. Atas nama rakyat atau perwakilan rakyat, mereka seenaknya melakukan ini. Mereka tidak berhak, karena yang seharusnya berhak adalah pihak kepolisian. Negara ini adalah negara hukum, bukan negara fatwa.

Mungkin FPI harus banyak belajar berpikiran terbuka dan toleran seperti ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) KH Maman Imanulhaq. Tanggapannya mengenai sikap dua Kapolres yang mengeluarkan surat edaran penggunaan atribut keagamaan yang merujuk pada fatwa MUI. “Masih banyak problem bangsa ini yang lebih besar daripada sekedar atribut-atribut sinterklas.” Sudah paham FPI? Masih banyak problem bangsa ini yang jauh lebih mendesak untuk ditangani. Kenapa tidak bantu mengatasi kasus terorisme, bom yang akan diledakkan di beberapa tempat, kasus makar, kasus korupsi? Bukankah itu lebih berbahaya buat negara ini? Kenapa sibuk mengurus atribut seperti ini.

Maman juga mengatakan, pakaian sinterklas sendiri bukanlah bagian dari kultur kristiani yang sah dan diakui. Bagi yang beragama Kristen, mohon ralat kalau saya salah. Setahu saya di Alkitab tidak menyinggung masalah pakaian sinterklas. Atribut seperti itu adalah budaya di negara barat sana.

Saya masih ingat ketika masih SMA ada seorang guru pintar tapi asal nyerocos tanpa tahu apa yang sebenarnya. Bu guru ini mengatakan seperti ini, “Bagi yang muslim, tidak boleh mengucapkan selamat hari Imlek pada mereka yang beragama Budha.” Di kelas itu ada beberapa murid Tionghoa. Bayangkan bagaimana perasaan mereka mendengar perkataan guru yang seperti itu. Kaya ilmu tapi miskin akal sehat. Imlek bukan bagian dari hari raya keagamaan. Imlek adalah kebudayaan orang Tionghoa, merupakan tahun baru China. China memiliki kalender tersendiri yang dinamakan kalender lunar. Imlek di kalender tersebut sama seperti tanggal 1 bulan 1, sama seperti tahun baru dalam kalender Masehi. Orang Kristen yang Tionghoa saja merayakan Imlek. Lagipula apa salahnya mengucapkan selamat seperti itu? Bukannya bermaksud menghina guru, tapi guru model begini nih yang membuat intoleransi meluas.


Maman juga menambahkan dan menilai ada baiknya umat muslim di Indonesia ketika hari Natal bisa mengikuti kelompok-kelompok muslim di London. “Kita tidak mengikuti Natal, tapi kita mengambil spiritnya dengan cara mengambil upaya kebersihan, mengunjungi panti asuhan,” katanya. Dengan begitu Indonesia akan menjadi contoh terbaik bagaimana agama menjadi spirit kebersamaan, spirit cinta kasih dan spirit perdalamaian di dunia. Nah, ini baru pernyataan yang benar dan menyejukkan, bukan seperti mereka yang berkoar-koar bikin resah, mengerahkan massa untuk mengintimidasi.

Sebentar lagi—dalam waktu satu bulan—orang Tionghoa akan merayakan hari raya Imlek. Menarik untuk disimak apakah MUI akan kembali mengeluarkan fatwa sejenis, di mana muslim dilarang memakai atribut Imlek? Imlek bukan hari raya agama, menarik untuk disimak apakah MUI akan mengeluarkan fatwa serupa atau tidak. Kalau benar akan mengeluarkan fatwa serupa, kemungkinan besar ormas akan kembali bikin ulah. Pembiaran ormas melakukan tindakan seperti ini akan diikuti ormas lain dan makin meluas. Saya mau lihat bagaimana pemerintah menangani hal seperti ini. Maman juga mengingatkan agar jangan sampai polisi takut terhadap preman. Jangan sampai negara kalah dengan kelompok masyarakat yang melakukan sesuatu jauh dari nilai-nilai toleransi.

Seperti yang bisa kita lihat di berita, negara-negara lain mempermasalahkan masa depan dan kemajuan negara, orang-orang di sini masih sibuk mempermasalahkan kata-kata, atribut agama dan sebagainya. Negara yang dulu lebih tertinggal dari Indonesia sekarang sudah jauh meninggalkan Indonesia. Di saat negara lain sudah berpikiran dewasa, segelintir orang-orang di sini masih berpikiran seperti anak-anak. Perbedaan agama dan budaya malah dilihat sebagai ancaman. Perbedaan seperti ini malah ditanggapi dengan rasa paranoid. Wahai FPI dan ormas lainnya, belajarlah dari Maman ini. Janganlah berpikiran sempit.

Bagaimana menurut Anda?

Salam Entahlah.





No comments:

Post a Comment

Post Top Ad