Pak MUI dan FPI, Ketupat Itu Haram? - Berita terkini

Recent Posts

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Wednesday, December 21, 2016

Pak MUI dan FPI, Ketupat Itu Haram?




Singkat saja, aku ingin sekali menuliskannya!

Indonesia kembali dihebohkan dengan fatwa MUI dan kelompok Front Pembela Islam (FPI). Baru-baru ini menjelang natal, dimana fatwa yang bagi saya banyak kekeliruan lagi-lagi menyerang Indonesia. Apalagi sampai adanya sweeping yang berkesan pemaksaan terhadap kehendak. Tampak sektarianisme agama dan politik identitas atau parahnya lebih kepada produk imperialisme global, yang senantiasa melakukan adu domba dan pecah belah.

Kontemporer buat semua jadi serba gampang. Indonesia seperti panggung sinetron yang berepisode panjang, tapi jalan ceritanya stagnant, disitu-situ saja. Dari sebelum pra-pancasila problem keyakinan dalam bernegara hendaknya selesai ketika pancasila itu tercipta. Tapi hingga saat ini masih rusuh. Berkutat dengan perdebatan yang tidak begitu essensial dan strategis seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, ekonomi bangsa, sains, teknologi. Dan yang terjadi justru lebih memilih untuk memperdebatkan agama dan saling mengkafiri sekaligus mengharamkan, atributpun dibikin ribut.

Soal “atribut natal” kalau kita harus jujur dengan histori bangsa ini, tentunya yang berhubungan dengan atribut natal sudah mesti dilarang sejak dulu, tapi kenapa tidak jadi problem, karena bangsa ini bukan negara Islam dan sudah semestinya menghormati keyakinan lain termasuk soal ibadah ataupun perayaan hari besar keagamaan.

Apa yang sudah difatwakan MUI dan kemudian bergeraknya FPI tentang “atribut natal” justru bukan hanya melukai yang merayakan natal, tapi juga melukai golongan muslim itu sendiri karena islam akan menuai stigma negatif yang tidak menghargai keyakinan agama lain termasuk tidak menghargai kebebasan dalam beribadah yang dilakukan agama lain. Ke-egoisan yang menyatakan menegakan prinsip agama tanpa kompromi harus lihat dulu konteksnya. Kita hidup bernegara bukan di dalam rimba, binatang saja ada keseimbangan dalam siklus keberlangsungan hidup dalam hutan rimba. Apalagi manusia yang punya nurani dan akal serta dalam suatu negara.

“Atribut natal” tidak ada hubungannya dengan keberimanan nasrani apalagi muslim. Harus dapat membedakan antara tradisi, budaya dan agama juga termasuk konteks perkembangan jaman dari lahirnya agama hingga saat ini. Agama justru lahir untuk menciptakan peradaban yang lebih baik, bukan mundur. Rahmatan lil alamin bukan hanya semboyan dan pembicaraan di seminar saja atau dibangku sekolah saja, jika pada akhirnya panutan seperti MUI tidak mengindahkannya dan Kelompok yang selalu bertindak dengan pemaksaan selalu digandeng dan dianggap sah termasuk melakukan tindakan kekerasan.

Sweeping yang terjadi di Surabaya dan tempat-tempat lainnya di Indonesia mengenai “atribut natal” adalah jauh dari nilai kemanusiaan. Dan tidak sadar diri, kenapa? karena atribut “lebaran” tidak dianggap demikian atau di sweeping juga.

Seperti sarung, kopiah, peci putih, bedug takbiran, dan KETUPAT. Justru lestari dan dianggap sah. Artinya dalam hal ini tampak jelas “diskriminasi” dan sektarianisme agama dalam hidup bernegara yang punya keyakinan dalam ketuhanan lebih dari satu.

Ketupat. Ketupat justru ada sejak pra-islam di negeri ini. Yaitu lahir ditangan golongan keyakinan saudara-saudara hindu. Dimana ketupat itu sudah ada jauh sebelum Islam ada di negeri ini. Lalu kemudian berkembang berganti lepat dan populer sejak masa sunan kalijaga. Kemudian lihatlah ketika tradisi bali menggunakan janur dan biasanya digunakan pada ketupat.


Jika “atribut natal” seperti pakaian sinterklas dan pohon natal itu tampak dimata. Lah kalau ketupat gimana? Selain tampak dimata juga dimakan (menyatu dengan diri). Sementara ketupat sendiri tidak lahir dari tradisi muslim, berarti jika muslim menggunakan gambar ketupat dan menyantapnya saat hari besar keagamaan juga harus di sweeping. Karena ketupat itu sudah ada sejak zaman pra-islam nusantara, sama saja muslim berarti menyerupai saudara golongan Hindu, dimana asal muasalnya merupakan tradisi nusantara yang berasal dari golongan hindu.

So, sadar konteks itu memang perlu. Umat islam mending sadar kelas ketimbang tidak menyadari diri. Bagaimana mungkin kemudian merasa semua adalah kebenaran dalam sebuah theis, termasuk “atribut natal” dikoarkan haram dan di sweeping, sementara ketupat diagungkan.

Aduhai bangsa ini, soal atribut ribut.

Disisi lain pada manusia kontemporer, seperti pengajian-pengajian yang dilakukan golongan kelas menengah urban tampak seperti mendapatkan kenyamanan yang berkaitan dengan kemerosotan nilai-nilai moral. Dan saat moment demikian bermunculan para habib, aa, ustadz-ustadz yang menjadi idola dan mengalahkan otoritas kyai-kyai lama ataupun ulama-ulama tua yang studinya mempuni dibidang keagamaan serta mewajibkan untuk senantiasa bersatu dalam konteks bernegara, ulama-ulama semacam ini dianggap bid’ah dan pengecut bahkan dibilang “ndasmu”. Dan masyarakat kontemporer yang kian malas lebih menyukai ustadz-ustadz idola televisi. Termasuk saling mengkafiri ataupun meributkan atribut.

Jika “atribut natal” di sweeping segala dengan sedemikian rupa, berarti ketupat pun “haram”.

Salam atribut ribut.










No comments:

Post a Comment

Post Top Ad